Indonesia, 34 tahun lagi

Saya teringat ucapan teman saya,Qasim, warga negara Inggris keturunan Pakistan yang sudah sejak lama migrasi dan menetap di Inggris. Ucapan itu sederhana, dan bisa jadi dia ucapkan tanpa beban, karena kami waktu itu sedang minum kopi panas di tengah dinginnya udara di Birmingham, Inggris. Negara maju adalah negara yang rakyatnya punya keinginan, semangat dan optimisme untuk maju. Itu yang tidak saya lihat di Pakistan, dan saya akhirnya meninggalkannya ujarnya singkat.

Ucapan itu terngiang kembali dalam benak saya setelah membaca tulisan pak SBY di majalah Strategic Review yang berjudul ?Indonesia In 2045:
A centennial journeyof progress. Di awal tulisannya, beliau menulis bahwa kalau beruntung, generasi 2045 adalah generasi dengan karakter yang kuat, tapi kita tidak bisa bergantung dan mengandalkan faktor beruntung, tapi kita harus mengandalkan kerja keras. Tulisan itu senada dengan isi seminar di Phnom Penh tahun 2009 dimana saya salah satu pembicaranya, namun waktu itu topiknya adalah Kamboja, negeri yang sedikit kurang beruntung secara ekonomi.

Saya nge-tweet tentang hal ini kepada 60ribuan follower di GNFI twitter, dan saya tidak menduga bahwa tweet tersebut telah digetok-tularkan (retweet) dan mampu masuk ke timeline ratusan ribu orang, atau bisa jadi jutaan, wallahualam. Dari sekian banyak respon tweet tersebut, sebagian terbesarnya adalah optimisme dan harapan untuk bangkit dari kondisi sekarang ini, sebagian yang lain yang me-RT (yang berarti setuju), dan sebagian yang lain cukup skeptis dan pesimistis mengingat masalah bangsa yang (menurut mereka) sudah sangat akut.

Generasi 2045 (by Getty Image Royalty-free)

Saya tergetar membaca dan mempelajari mengenai kemajuan luar biasa negara-negara bekas Uni Sovyet dan negara-negara satelitnya. Pertumbuhannya tidak melulu di bid! ang ekon omi, tapi juga pendidikan, olah raga, karakter masyarakat, dan lain lain. Kita mungkin masih ingat, ketika Sovyet runtuh, kita sering lihat di TV betapa banyak dan panjang antrian-antrian untuk mendapatkan sepotong roti atau semangkuk bubur, di negara negara tersebut. Sekarang, datanglah ke Hungaria, Rumania, Polandia, Serbia, Kroasia, Khazakhtan, Ukraina, Ceko, Slavia, Slovenia, dan lihatlah kota kota mereka yang bermandikan cahaya, jalan jalan yang bersih, sekolah sekolah yang terbangun cantik, dan masyarakat yang dengan jelas menikmati pertumbuhan kesejahteraan.

Beberapa waktu yang lalu, saya menonton film nasional lama yang dibintangi oleh Benjamin S yang mungkin syutingnya pada awal-awal tahun 70-an. Di film itu saya melihat pengemis, penjual baksa yang dipikul, penarik becak yang berbaju kumuh, dan jalan jalan di Jakarta yang semrawut. Saya diberitahu oleh seorang mentor saya di bidang humaniarian issues, Fadlullah Wilmot, seorang warga negara Malaysia keturuan Inggris, bahwa di Malaysia, Singapura, Thailand kondisinya juga sama pada masa masa itu. Yang membedakan adalah, di ketiga negara tersebut, saat ini amat sulit mendapatkanhal hal diatas(kalau tidak bisa dibilang tidak ada). Sementara di Indonesia, terlihat masih banyak, dan bisa jadi lebih banyak dari tahun 70-an.

Dimana salahnya?

Tentu sangat tidak adil membandingkan Indonesia dengan Thailand, Malaysia, atau Singapura. Ketiga negara tersebut tidak memiliki tingkat keruwetan sebesar yang dihadapi Indonesia dalam membangun, mulai dari populasinya yang besar, wilayahnya yang luas, karakter dan budayanya yang beraneka ragam, sejarah di masa lalu, dan masalah akut warisan masa lalu. Ditambah lagi dengan terpencarnya kota kota dan daerah di pulau pulau.

Lalu apa solusinya?

Saya baru saja pulang dari sebuah propinsi baru di Indonesia Timur, propinsi yang masih gegap gempita membangun. Gorontalo. Sekilas Kota Gorontalo adalah kota seukuran Sragen, dan masih sangat terlihat kegiatan pembangunan di sana sini. Belum begit! u mapan, memang. Saya sempatkan diri berkeliling kota dan kabupaten Gorontalo, bertemu dan berdialog dengan banyak orang, dan dari situ saya ambil kesimpulan besar, bahwa hasil dari otonomi daerah (melalui pembentukan propinsi baru) telah berhasil meningkatkan ekonomi propinsi Gorontalo. Dan kondisi ini memunculkan harapan, optimisme, dan mimpi di masa depan.

Menyongsong masa depan (by Getty Image Rotalty-free)

Indonesia, saat ini, bukan lagi sebuah entitas besar dengan garis garisnya digambar dari Jakarta, Indonesia saat ini terdiri dari entitas-entitas kecil dengan segala keunggulan, prestasi, dan kebanggaannya. Entitas-entitas kecil yang tahu dan mampu mengatasi masalah di daerahnya.

Ketika Singapura juga masih merupakan kampung pada awal 70-an dan sekarang menjadi kota global nan kaya, bukankah patut kita berharap dan bermimpi bahwa Gorontalo, Balikpapan, Dumai, Jogja, Ternate, Sorong dan lain lain bisa menjadi Singapura-Singapura yang kuat dan mapan di negeri ini?

Kalau mau mengambil 100 tahun kemerdekaan RI sebagai cut offnya, kita masih punya 34 tahun lagi, waktu yang dibutuhkan Singapura utk menjadi singa Asia.


Comments

Popular posts from this blog

365Indonesia Day 26 Snorkeling and Diving Spot at Kambing Island, Tanjung Bira, South Sulawesi

61st Carlos Palanca Memorial Awards

Pinoy photographers to hold Mount Pinatubo exhibit in US