Komentator Bola dan budaya Enaknya Saja
Kebiasaan untuk mencari enaknya saja nampaknya sudah menjadi budaya di negara kita dan diperlihatkan di setiap aktivitas keseharian kita. Meskipun ada jembatan penyeberangan, kita lebih enak lewat bawah. Pegawai disegala tingkatan juga lebih enak pulang sebelum waktunya atau menggunakan uang haram dari pada bekerja keras untuk mendapatkannya. Lebih enak bicara dari pada bekerja. Fenomena itu juga dapat dilihat pada pesta sepakbola dunia kali ini, ketika semua orang di jagat ini termasuk di negara kita menyaksikan pertandingan sepakbola yang sangat-sangat bermutu yang ditampilkan para negara peserta, kita juga menyaksikan betapa enaknya para komentator bola di TV dan di media lainnya dinegara kita ini yang hanya bisa memberikan komentar, tanpa menyadari bahwa kondisi persepakbolaan kita sangat terpuruk.
(image by Getty Images Royalty-Free)
Sering kali kita disuguhi berita tentang konflik internal antara pelatih dan pemain, soal ketidak jelasan penggunaan uang, soal dugaan pemain yang terindikasi mengkonsumsi narkoba. Termasuk juga soal keganasan supporter, dan sering kalahnya pasukan sepak bola kita kalau bertanding di luar negeri. Kalau toh kalah, dengan enaknya kita menjelaskan alasan2 yang nampak logis seperti: para pemain kita tidak bisa adaptasi dengan cuaca setempat, pemain kita terkilir kakinya sebelum main, pemain kita kalah besar tubuhnya, atau persiapan tim kita sangat terbatas. Semuanya berita2 yang tidak enak itu serasa hilang, dilupakan begitu saja ketika kita begitu nyamannya mendengar pendapat para komentator itu, misalnya: seharusnya pelatih Rusia memperkuat pertahanan belakang, seharusnya David Beckham lari lebih kencang, Jepang menang karena moralnya tinggi, dan seterusnya.
Pertunjukan itu akhirnya dapat memberikan pelajaran bagi publik bahwa di negara k! ita ini lebih baik menjadi komentator dari pada berjuang keras sebagai pemain. Lebih enak bicara dari pada bekerja. Kalau pemain berbuat salah maka kritikan dari kanan dan kiri silih berganti diterima. Namun kalau komentator berbicara salah, maka sedikit saja pendengarnya memberikan kritikan, seakan mereka terhipnotis dengan pendapat komentator itu. Kalau baru-baru ini ada pejabat publik yang mengatakan bahwa jadilah politisi kalau ingin kaya, maka sekarang juga ada pendapat yang mengatakan jadilah komentator bola kalau ingin jadi terkenal. Fenomena di dunia sepakbola itu ternyata juga terjadi di dunia lain, misalnya politik dan ekonomi. Para komentator politik sering kali mengeluarkan pendapat-pendapatnya yang membahana tanpa menyadari bahwa komentarnya itu dapat berakibat buruk pada kehidupan orang bawah.
(image by Getty Images Royalty-Free)
Para anggota Dewan kita yang terhormat, juga begitu enaknya memakai uang negara untuk melakukan Studi Banding keluar negeri tanpa harus susah payah melakukan studi banding sebenarnya, misalnya melakukan diskusi yang serius dengan mitra dari negara yang dikunjungi, atau menganalisa angka statistik yang disodorkan oleh negara tuan rumah. Diantara mereka begitu enaknya melihat gemerlapan lampu kota, naik kereta api bawah tanah, melihat gedung2 pencakar langit, dan bahkan melihat kecantikan para penari kabaret yang tidak ada hubungannya dengan tujuan studi banding tadi. Selain itu kehidupan yang enak dan gampang juga dipertontonkan oleh keluarga yang menggunakan mobil dinas untuk keperluan pribadi, sambil bersuka ria berpiknik dengan mobil dinas itu tanpa menyadari bahwa biaya pemeliharaan mobil itu menggunakan dana Anggaran Belanja negara atau daerah yang dengan susah payah disumbangkan oleh rakyat.
Komentator dibidang ekonomi juga berbuat serupa, sambil memberi! kan nasi hat-nasihat ekonomi dan bisnis yang di ambil dari sebuah textbook, memberi contoh bagaimana dinegara lain perekonomiannya begitu maju, padahal dia tidak pernah berkunjung kenegara itu, atau padahal dia tidak pernah mempunyai pengalaman yang cukup sebagai praktisi dibidangnya. Siapapun yang memberi komentar di bidang apapun, sering kali kita menyuguhkan kepada kita kalimat-kalimat yang enak nya saja dan tidak memberikan makna yang signifikan, misalnya kalimat dari sebuah pidato disebuh seminar atau apapun namanya yang berbunyi: Kalau perekonomian kita ingin pulih dan maju, maka harus ada upaya yang dilakukan sedemikian rupa, kata-kata sedemikian rupa itu sangat kabur maknanya, sebab tidak menjelaskan secara rinci bagaimana upaya itu dijalankan, dan merupakan indikasi bahwa sipembicara tidak menguasai materi yang sedang dibicarakannya.
Seperti halnya para komentator sepakbola yang bisa datang dari berbagai lapisan, mulai dari tukang parkir, tukang becak, sampai agamawan, politisi dan para pelatih yang sudah pensiun. Komentator politik dan ekonomi juga bisa datang dari berbagai lapisan juga. Di kehidupan lain, publik juga banyak disuguhi kehidupan yang enaknya saja, misalnya di dunia sinetron, rakyat kecil di kampung dan sawah2 diajari begitu enaknya menjadi orang ayu dan ganteng, punya rumah besar, punya mobil baru, pakai dasi, punya pacar berganti-ganti seperti yang juga digambarkan oleh film-film murahan dari luar negeri. Tanpa diberitahu bagaimana susahnya mendapakatkan keberhasilan diatas. Salah satu akibat dari hal ini adalah begitu cepatnya muncul budaya konsumerisme di kalangan masyarakat kita, yang mencoba untuk menjadi enak tanpa harus bekerja keras, atau yang sering kita kenal sebagai demonstration effect.
Sampai-sampai begitu gampang dan enaknya anak-anak kecil kita mencoba melakukan hubungan suami istri tanpa harus susah-suah menjadi dewasa, bekerja dan berjuang keras dalam hidupnya sebelum layak menjalani kehidupan itu. Secara umum jarang kita menerima komentar yang mengajarkan bet! apa kera snya hidup ini harus dilalui, kita jarang mendengar informasi bahwa bangsa Jepang, Amerika, Canada, Cina dan negara-negara maju lainnya itu bisa menjadi seperti sekarang ini adalah karena bekerja keras selama periode yang lama bahkan ada yang ditempuh dalam masa ratusan tahun. Misalnya Inggris dan Jepang itu bisa maju setelah menempuh kurun waktu 100 tahun lebih.
Karena itu setelah seringkali mengamati hebatnya para komentator sepakbola kita, kolega saya seorang dosen juga sambil tersenyum mengatakan pendapatnya dalam bahasa gaya Suroboyoan : Memang bangsa kita ini keturunan bangsa nggedabrus (membual). Mudah-mudahan komentarnya hanya sebatas guyonan.
- *) Alumnus Unair dan University of London, staf pengajar Perbanas, Stiesia Surabaya.
Comments